TEBO - Aju Nofrienza mengajak 50 orang petani Desa Melako Intan menerapakan pertanian regeneratif. Beberapa batang paralon di bawa ke kebun sawit warga yang menjadi lokasi belajar. Aju bersama 40 orang lainnya, merupakan pelatih lokal yang dibekali pembelajaran praktek pertanian regenerative oleh Wild Asia. Mereka adalah perwakilan dari empat desa di Kecamatan Rimbo Ulu yaitu Desa Sido Rukun, Desa Sido Mulyo , Desa Mekar Sari. Desa Sumber Sari dan Desa Melako Intan Kecamatan Tebo Ulu.
Aju mengajarkan petani untuk melakukan pengukuran kesuburan tanah dan kecepatan resapan air dengan menggunakan berbagai alat sederhana.
"Untuk mengukur kecepatan resapan air, kami menggunakan paralon, sambil menuangkan air ke dalam paralon sepanjang kurang lebih 15 cm, kemudian mengamati waktu yang dibutuhkan agar air habis.,” jelasnya.
Sementara itu, memeriksa area piringan seluas satu setengah meter melingkar di sekitar pohon. Fokus pada area di bawah ujung daun dan di bawah tumpukan pelepah, karena
"Biasanya, resapan air yang bagus itu di bawah pelepah dan di ujung daun. Semakin cepat semakin baik," ungkapnya.
Selanjutnya, Aju menggunakan sebuah alat berbentuk segiempat untuk memeriksa mikroorganisme dalam tanah, terutama cacing. Alat ini digunakan untuk melihat mikroorganisme di tanah, salah satunya cacing. Alat tersebut ditempatkan di tiga lokasi yang berbeda. Aju menyiramkan air berisi sabun ke tengah lingkaran alat tersebut, lalu menunggu selama 15 menit sebelum melihat berapa banyak cacing yang keluar.
"Semakin banyak cacing yang muncul, tanah semakin subur," Aju menyimpulkan, memperkuat kesimpulan dari hasil observasinya.
Menurut Siti petani Desa Melako Intan, penggunaan bahan organik dan mikroorganisme yang baik untuk tanah adalah kunci dalam praktik RA. Namun, selama ini, penggunaan limbah dari perkebunan seperti jangkos, kohe, urin hewan, bahkan limbah rumah tangga seperti biojus belum dimanfaatkan secara optimal. "Selama ini limbah-limbah jeruk ini banyak, tapi tidak dimanfaatkan. Dibuang, kalau bisa jadi pupuk, berkurang menggunakan pupuk kimia."
Parwoto, Pelatih Lokal Rimbo Ulu yang mengelola kebun kelapa sawit, mencoba membandingkan hasil menggunakan pupuk kimia dengan menggunakan tangkos, salah satu bahan organik. Hasilnya, dalam demplot percontohan seluas dua hektar, produksi cenderung sama antara penggunaan tangkos dan pupuk kimia. Hal ini menjadi dorongan bagi petani untuk lebih antusias dalam mengadopsi praktik RA.
“Untuk membuat petani percaya, mereka butuh contoh. Dan saya pikir bisa melakukan praktik RA ini langsung di kebun saya sebagai contoh, “ ungkapnya.
Selama ini petani menggunakan tangkos Tapi tata caranya belum tepat, tangkos digunakan belum tepat.
“Biasanya petani aplikasi tangkos mereka tumpuk tinggi diletakkan di dekat pohon melingkar. Kalau ditumpuk dekat pohon menjadi sarang hama dan jamur bagi kelapa sawit dan menyusahkan saat panen, ambil berondol, ‘tambah Parwoto
Pembuatan biojus juga menjadi salah satu praktik yang diterapkan oleh petani. Biojus dibuat dari campuran limbah rumah tangga seperti buah, sayuran, dan molase (tetes tebu). "Antusias petani dengan adanya praktek pembuatan biojus, karena pembuatan pupuk ini berada di dapur mereka ada molase, dibuat dari gula merah dan gula pasir dicampurkan air. Bahan lainnya merupakan limbah dari rumah tangga," ungkap Koordinator lapangan Setara Jambi, Abu Amar.
Abu Amar menegaskan bahwa praktik RA ini mengajak petani untuk berpikir secara lebih holistik dalam memanfaatkan sumber daya di sekitar mereka, mengurangi penggunaan bahan kimia, dan lebih memanfaatkan pupuk organik yang ada. Ada total 200 orang petani di Tebo yang sudah mendapatkan pelatihan praktik RA.
" Sebenar praktik RA ini mengajak pengurangan atau peralihan petani swadaya dalam penggunanan bahan kimia yang tidak tepat dan besar-besaran, penggunaan pupuk sembarangan tidak tepat dosis, dimana harga pupuk kimia relatif mahal, susah mendapatkan,nya, kenapa tidak memanfaatkan pupuk yang ada di sekelilingnya kita. RA ini mengajak petani berpikir mengurangi penggunaan bahan kimia, dan memanfaatkan pupuk organic yang ada di sekitar mereka. Petani berfikir tidak mupuk kalau tidak kimia. Kalau pupuk organik dimanfaatkan baik oleh petani pasti produksinya akan meningkat”.
Dalam upaya menuju pertanian yang lebih berkelanjutan, pembuatan biojus menjadi salah satu langkah awal. Prosesnya sederhana, di mana bahan-bahan seperti buah/sayuran limbah rumah tangga dan molase dicampurkan dalam botol plastik, lalu digoncangkan selama tujuh hari. Setelah tiga bulan, biojus tersebut akan menjadi pupuk organik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Pertanian regeneratif di Kabupaten Tebo, Jambi, menjadi model yang diadopsi dan direplikasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat di 2 organisai petani sawit swadaya yang ber sertifikasi RSPO yaitu, APBML dan FPS MRM. Di demplot percontohan di APBML yang menerapkan pemupukan menggunakan tangkos secara penuh, hasil produksi cenderung sebanding dengan penggunaan pupuk kimia. Bahkan, terdapat potensi peningkatan produksi yang mungkin akan setara dengan hasil menggunakan pupuk kimia.
Netti, petani sawit swadaya anggota FPS MRM bilang banyak manfaat yang dirasakan setelah setahun ini menerapkan praktik RA. “Saya menggunakan pupuk Kandang kotoran sapi dan urine sapi, saya juga menanam sayuran di kebun, dan juga menanam pohon gaharu, kata orang dikebun sawit tidak bisa ditanam tanaman lain, tetapi asal bagus pengelolaannya ternyata bisa ditanam tanaman lain, asalkan menggunakan pupuk organic agar tanahnya subur, hasil produksi sawitnya tetap bagus,” pungkasnya.(*)